Sabtu, 30 Juni 2012


Kisah Sepatu Merah

     Adalah seorang anak bernama Melanie yang berparas jelita. Ia adalah anak dari keluarga bangsawan. Meskipun keluarganya berasal dari keluarga terpandang, namun sikap dan sifatnya tidak mencerminkan demikian. Ia selalu berperilaku seakan tak memiliki tata krama. Ia selalu membentak para pelayannya bila keinginannya tak tepenuhi. Suatu kali, ada sebuah kejadian yang mengubah sikap dan sifat Melanie.
     Suatu hari, Melanie ditemani oleh kedua pelayannya, Alice dan Robert, menuju ke sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota. Melanie berencana untuk membelikan temannya kado ulang tahun istimewa. Sesampai di sana, Melanie segera membeli barang yang ia butuhkan. Tak sengaja, Melanie melihat sepasang sepatu merah di etalase toko seberang. Ia pun tertarik untuk melihatnya dari dekat dan memegang langsung. Ia pun berkata pada kedua pelayannya untuk membelikan sepatu itu untuknya. Namun mereka menolak karena belum mendapat izin dari ibu Melanie. Melanie tetap memaksa, dan pulang dengan tangan hampa. Di sepanjang jalan, Melanie menangis dan mengomeli kedua pelayannya yang tidak menuruti permintaannya.
    Keesokkan harinya, Melanie mendatangi toko yang menjual sepatu merah tersebut sendirian. Namun, sepatu merah tersebut sudah tidak terlihat di etalase toko lagi. Dengan bingung, Melanie pun memasuki toko tersebut dan melihat ada seorang anak gadis seumurnya sedang mencoba sepatu tersebut. Melanie pun berpikir bahwa gadis itu akan membelinya. Namun, gadis itu mengembalikan sepatu tersebut ke etalase toko. Karena penasaran, ia pun mendatangi gadis tersebut. “Hai, namamu siapa? Aku Melanie. Aku lihat, tadi kamu mencoba sepatu merah tersebut. Mengapa kau tak membelinya saja kalau kau suka?”. Gadis itu pun menjawab, “Aku Violet. Hahaha,, iya aku mau membeli sepatu merah itu, namun, aku belum memiliki cukup uang untuk membelinya”. Melanie pun bertanya lagi pada Violet, “Ohh, memangnya, sepatu merah itu untuk siapa? Mengapa kau tak meminta uang dari orang tuamu?”. Violet menjawab dengan tersenyum, “Sepatu itu untukku di hari ulangtahunku besok. Lihatlah, sepatuku sudah kusam kan... Orang tuaku sudah capek mencari nafkah untuk makan sehari-hari, mana tega aku menghabiskan uang tersebut hanya untuk kepentinganku sendiri dengan membeli sepatu..?? Lebih baik aku hanya mencoba sepatu itu. Hehehe.”. Melanie pun terdiam sejenak. “Baik benar anak ini. Merelakan keinginannya demi orang  lain”, katanya dalam hati. Teringat akan keinginannya akan sepatu merah tadi, teringat akan bagaimana ia memaksa kedua pelayannya untuk membelikan untuknya kemarin, ia pun tertegun sejenak. Melanie pun berpikir apa selama ini ia terlalu memaksakan kehendaknya, apakah ia tidak memikirkan kedua orang tuanya yang selalu membiayainya. Ia juga berpikir bila ia berada di posisi seperti Violet, apa yang akan dirasakannya. Lalu, “Hei, kamu kenapa melamun?”, tanya Violet. “Ah, tidak.. Oh iya, aku pulang dulu ya. Besok aku mau kesini lagi. Kamu juga ya..”, pinta Melanie sambil menjawab. Violet pun bertanya, “Untuk apa?”. Namun Melanie hanya menjawab dengan kedipan mata.
     Sesampai di rumah, Melanie menghampiri ayah dan ibunya yang sedang berbincang di ruang keluarga. “Ma, pa, aku mau minta maaf sama kalian”, kata Melanie kepada kedua orang tuanya. Mereka pun saling berpandangan karena heran. Namun, Melanie melanjutkan perkataanya, “Maaf karena selama ini aku selalu memikirkan diriku sendiri”. Kedua orang tuanya pun tersenyum dan memaafkannya dengan gembira karena puterinya telah berubah. “Tapi, aku mau minta satu permintaan terakhir. Bolehkah aku membeli sepasang sepatu merah untuk ulang tahun temanku?”, katanya. “Tentu sayang”, kata ibunya. Melanie pun tak lupa meminta maaf pada Alice dan Robert,
     Keesokkan harinya, Melanie mendatangi toko kemarin dan membeli sepasang sepatu merah itu sambil menunggu kedangan Violet. Setelah Violet datang, Melanie menyanyikan lagu Happy Birthday. Violet pun bingung dengan tindakan Melanie. Namun Melanie tak peduli, ia terus bernyanyi dan setelah selesai, ia memberikan sebuah kado pada Violet sambil berkata, “Terimakasih telah mengajarkanku arti menghargai orang lain. Berkatmu sekarang aku mengubah semua sifat dan sikapku yang buruk. Ini, terimalah hadiah kecil dariku”. Mata Violet pun berkaca-kaca karena belum pernah ada yang memberikannya kado dihari ulangtahunnya. Lalu Violet membuka kado tersebut dan terkejut akan isinya. “Melanie! Ini!?”, Violet menangis trharu dan memeluk Melanie. Melanie pun turut senang dan terharu. “Tapi, bukankah kau juga menginginkan sepatu ini?”, tanya Violet. “Aku baru tersadar akan semua yang aku punya, ternyata sudah ber ratus-ratus barang yang aku punya. Dan ini, adalah seperseratus dari yang aku punya yang aku berikan pada orang lain”, kata Melanie tersenyum. Violet pun tersenyum. Ya, melanie telah merubah kepribadiannya. Mulai saat itu, Melanie dan Violet bersahabat.
 Terima kasih Sepatu Merah.. Kau telah merubah hidup seseorang..

Berkat Dua Koin Lima Ratusan


    Excel adalah seorang remaja laki-laki yang kaya raya. Meskipun umurnya baru 13 tahun, namun ia sudah diberikan fasilitas kartu kredit, motor dan mobil pribadi. Hal-hal tersebut yang membuatnya manja dan menghambur-hamburkan uang. Teman-temannya banyak yang tidak menyukai sifatnya itu, namun ia tidak memperdulikannya. Bahkan, tak jarang pula ia menghina temannya yang kurang mampu. Sayangnya, kedua orang tuanya tidak pernah mengetahui dan percaya akan kelakuan anaknya.
     Suatu kali, Excel kehilangan dompetnya, ia pun menuduh Victor yang duduk di sebelahnya. Victor yang adalah seorang anak dari keluarga miskin pun mengaku tidak mengambilnya. Namun Excel tetap bersikeras Victor adalah pelakunya. Kasus ini pun diselesaikan oleh wali kelas. Dan tetap Victor berkata bahwa ia bukanlah pelakunya. Kasus ini berbelit selama 3 hari. Pada hari ketiga, Excel menemukan dompetnya di dalam lokernya. Ia pun malu dan wali kelas pun memberika SP 1 kepada orang tuanya karena putranya telah menuduh orang lain. Orang tuanya yang menerima surat itu merasa malu lalu mengosongkan dompet dan mencabut kartu kredit Excel. Excel pun merasa sedih, marah, dan tidak menerima perlakuan orang tuanya. Mulai saat itu, ia pun membawa bekal dari rumah karena tidak memiliki uang jajan.
     Suatu hari, Excel bangun siang dan terburu-buru berangkat ke sekolah sehingga ia lupa membawa tas bekalnya. Sewaktu istirahat, ia baru tersadar bahwa ia tidak membawa bekal. Perutnya pun sudah keroncongan karena tidak sarapan. Malangnya, tak ada satu teman pun yang memperdulikannya. Ia duduk termenung di bawah pohon mangga sambil melihat iri pada teman-temannya yang jajan di kantin. Victor yang kebetulan lewat menghampiri Excel, “Hai, tumben kamu disini.. Nggak makan?”. “Oh, hai.. Nggak, aku gak bawa bekal”, jawab Excel malu. “Oh.. sama dong. Oh iya, tapi kenapa kamu nggak jajan? Kamu kan Master of Canteen. Hehehe”, tanya Victor polos. Excel tertegun sejenak. Ia bingung dengan dua hal. Pertama, kenapa Victor masih bisa baik padahal sudah ia fitnah. Kedua, apa yang harus ia jawab. Sepertinya Excel masih mempertahankan harga dirinya (gengsi). Tapi, ia memutuskan untuk jujur pada Victor yang sudah bersikap baik padanya. “Yah, sebenarnya aku tidak diberi uang jajan”, jawabnya sambil menunduk. “Sama dong kawan.. Aku juga baru hari ini diberi uang jajan. Bahkan, kalau kamu lihat berapa nominalnya, kamu pasti akan tertawa”, balas Victor tersenyum. Victor pun menyodorkan 2 koin limaratusan yang ia bawa. Excel pun benar-benar terkejut melihatnya. Ia teringat akan uang jajannya tiap hari yang 100 kali lipat dari Victor. “Tuh, kamu kaget kan. Sudah yuk, kita ke kantin. Sebentar lagi masuk nih. Aku traktir kamu krupuk gapapa ya. Hehe”, ajak victor sambil menarik tangan Excel. Excel merasakan ada perasaan hangat pada dirinya. Ia kagum dengan Victor. Seorang Victor yang hanya dibekali Rp 1000,00 masih dapat berbagi dengan orang  yang sudah menyakiti perasaannya. Ia pun mengikuti langkah Victor menuju kantin. Banyak teman-teman yang saling berpandangan melihat Excel berjalan bersama. Ada yang menunjukkan ekspresi kagum, senang, ada juga yang mengolok. Namun mereka berdua tak peduli.
     Sambil makan krupuk, Excel minta maaf pada Victor, “Vic, aku minta maaf ya. Waktu itu aku pernah fitnah kamu yang mengambil dompetku padahal itu karena keteledoranku. Tak kusangka kamu masih bisa baik gini sama aku”. Dengan tersenyum, Victor menjawab, “Weehh.. santai bro.. Gapapa kali, sebagai manusia kita pasti punya salah, punya prasangka buruk”. Mereka berdua pun tertawa bersama sampai bel masuk pun berbunyi.
     Mulai saat itu, Excel merubah sifatnya. Ia lebih menghargai uang dan orang lain. Dan juga, ia memiliki sahabat sejati, Victor.
     Terimakasih dua koin limaratusan.. Berkatmu, seorang dapat merubah sifatnya.